Sabtu, 10 Oktober 2009

Sejarah Sosial Industri

Pelayanan sosial di dunia industri muncul pada Abad Pertengahan. Industri-industri rumah pada masa itu diasosiasikan dalam bentuk gilda (guild) (Johnson, 1994; Kartono, 1994). Gilde-gilde ini merupakan perusahaan-perusahaan sektor kecil dan informal yang terdiri dari kumpulan tukang-tukang, seniman-seniman yang ahli dalam bidangnya serta mengembangkan peralatannya sendiri. Gilda memberikan tunjangan kecacatan, kemiskinan, jaminan pensiun dan kematian dan  bantuan sosial bagi keluarga pekerja. Gilda juga sudah memberikan pentingnya istirahat di hari Minggu dan liburan-liburan secara berkala. Sedikit demi sedikit, undang-undang menggantikan kegiatan-kegiatan gilda. Pengaturan jam kerja, upah, pemberian pendidikan dan pelatihan menjadi bagian tak terpisahkan dari perusahaan.

 Pada tahun 1800 di Skotlandia, seorang industriawan yang bernama Robert Owen menyediakan lapangan atletik, pendidikan anak-anak, supervisi moral, warung desa, perumahan, tunjangan sakit, asuransi kerja dan pengaturan pekerja anak pada perusahaannya. Tidak lama kemudian, para pemilik perusahaan di Inggris mengikutinya. Beberapa perusahaan besar Inggris menciptakan “kota-kota baru” bagi para pekerjanya.  Pada masa itu, beberapa perusahaan menyewa apa yang disebut “sekretaris kesejahteraan,” “pekerja kesejahteraan industri,” atau “sekretaris sosial.” Perusahaan manufaktur di Jerman dan pabrik-pabrik tekstil di AS juga membeikan berbagai macam jaminan kesejahteraan sosial kepada para pekerjanya. Di Jerman para pekerja sosial industri ini dikenal dengan nama arbeiter sozial, sedangkan di Perancis dinamakan consul de famille atau conseillers du travail. Mereka mulai terlibat di berbagai perusahaan Inggris, Jerman dan AS sekitar tahun 1890, sedangkan di Perancis tahun 1920. 

 Di AS, pekerja sosial industri pada mulanya dipekerjakan pada pabrik-pabrik tekstil di bagian selatan, di perusahaan International Harvester dan National Cash Register. Mereka melakukan dan atau mengorganisir beragam pelayanan sosial yang meliputi pendirian kamar-kamar istirahat dan kebersihan, perbaikan sanitasi, penyediaan tenaga medis, serta penyediaan makanan, perumahan dan sekolah. Mereka juga mengatur program-program jaminan sosial dan keamanan, pengadaan perpustakaan, kursus menjahit dan memasak, dan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK). Bahkan tercatat seorang pekerja sosial yang merancang kolam renang bagi pegawai dan mengusulkan perubahan jadwal Kereta Api agar sesuai dengan para pekerja penglaju (commuter) dari luar kota. Kegiatan-kegiatan tersebut kemudian semakin terintegrasi dengan tugas-tugas para spesialis seperti perawat, petugas kepegawaian dan administrasi. 
 Sebagian besar dari pekerja sosial industri adalah laki-laki yang menggantikan para sekretaris kesejahteraan yang umumnya dijabat oleh wanita. Seperti halnya gilda-gilda itu, fungsi-fungsi kesejahteraan yang lebih luas kemudian dipandang perlu untuk diatur dan bahkan diadopsi oleh pemerintah. Sistem kesehatan publik, pendidikan, asuransi tenaga kerja, dan jaminan sosial adalah bebera contoh program kesejahteraan sosial yang diatur oleh pemerintah. Di negara-negara berkembang, sejarah pekerjaan sosial industri ini juga hampir mirip. Di India dan Peru, misalnya, dunia industri menyediakan para pekerja sosial yang terlatih (profesional) dalam memberikan pelayanan sosial di perusahaan.

 Hingga tahun 1970an, di AS para pekerja sosial industri masih relatif sedikit, kecuali selama Perang Dunia II yang diperlukan untuk memberikan pelayanan bagi para pekerja wanita pada industri-industri senjata, kelautan, dan kantor militer. Setelah Perang Dunia II berakhir, perusahaan-perusahaan publik dan swasta membentuk program konseling dengan mana setiap anggota serikat kerja mendapatkan pelatihan, informasi dan pelayanan rujukan. Organisasi-organisasi serikat kerja kemudian mengoperasikan sekitar 20 unit kerja yang mirip dengan lembaga-lembaga sosial dewasa ini.

Dalam konteks pendidikan pekerjaan sosial, sekolah-sekolah pekerjaan sosial menyelenggarakan pelayanan-pelayanan sosial inovatif bagi dunia industri. Pada tahun 1964, Hyman Weiner dari School of Social Work (setingkat fakultas), Columbia University mendirikan sebuah pelayanan rehabilitasi yang dioperasikan secara kerjasama antara universitas dan lembaga pelayanan sosial bagi para pekerja garmen. Karya Weiner merupakan cikal-bakal berdirinya Pusat Kesejahteraan Sosial Industri di Columbia University. Pelopor lainnya adalah Dr. Dale Masi dari the Boston College School of Social Work. Dia mempelopori pendirian beberapa proyek pekerjaan sosial industri yang kemudian menjabat sebagai direktur pertama Pelayanan Konseling Pekerja pada Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan di Washington D.C. Sekitar 30 sekolah-sekolah pekerjaan sosial setingkat S2 dan S3 dan beberapa program undergraduate setingkat S1 menyelenggarakan program pekerjaan sosial industri, baik dalam kurikulum maupun praktikum-praktikum lapangannya.

Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial (CSWE) dan Asosiasi Nasional Pekerja Sosial (NASW) di AS memasuki bidang industri pada tahun 1975 dengan menetapkan sebuah panitia kerjasama untuk mempelajari dan merekomendasikan bidang baru pekerjaan sosial dalam perusahaan. Hal ini kemudian mendorong diselenggarakannya sebuah konferensi nasional pertama pada tahun 1978 yang khusus difokuskan bagi para praktisi pekerjaan sosial yang bekerja di perusahaan. Semenjak itu, para praktisi dan pendidik pekerjaan sosial saling bahu-membahu untuk terus menyempurnakan kerangka pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai pekerjaan sosial di bidang industri. Pelaksanaan praktikum mahasiswa dalam Program-Program Bantuan Pekerja (EAPs) dalam berbagai setting bisnis dan industri juga semakin meningkat.


 Masalah Yang Ditangani :Berawal dari Abad ke-14 di Inggris, masyarakat industri sangat ditentukan oleh sistem pabrik. Pada jaman merkantilisme ini, pada awalnya laki-laki dan wanita bekerja di ladang atau pada perusahaan-perusahaan keluarga (informal) (Johnson, 1984; Kartono, 1994). Seiring dengan perkembangan industrialisasi, pabrik-pabrik mulai menarik para pekerja untuk meninggalkan rumah-rumah dan desa-desa mereka. Hal ini memisahkan orang dewasa yang sebagian besar waktunya bekerja di pabrik dengan anak-anak yang ditinggalkan di rumah bersama keluarga besar atau tanpa pengawasan sama sekali. Pemisahan ini menjadi awal bagi dinamika keluarga dan masyarakat termasuk bagi munclunya permasalahan sosial yang diakibatkannya. Retaknya relasi sosial antara pekerja dan keluarganya, kurangnya kesempatan anak-anak dalam meniru model peranan orang tua, dan munculnya alinasi atau keterasingan pekerja dalam kehidupan masyarakatnya adalah beberapa contoh masalah sosial yang timbul akibat industrialisasi.
Mekanisasi dan otomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan dan membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting. Para pekerja kerah biru maupun kerah putih merasa tidak bermakna dan terancam karena kapan saja dapat digantikan oleh saingannya, yakni mesin. Perubahan teknologi, pergantian tenaga kerja (shift), dan pemutusan hubungan kerja yang semakin menjadi fenomena sehari-hari, sering menimbulkan kecemasan bagi para pekerja. Proses otomatisasi di AS menggantikan sekitar 2 juta pekerjaan setiap tahunnya. Para pekerja yang yang merasa tidak berguna dan tidak berdaya dalam pekerjaannya seringkali membawanya ke rumah dan masyarakat.

Johnson (1984:261) mengklasifikasikan akibat-akibat industrialisasi yang bersifat negatif terhadap kesejahteraan manusia kedalam 5A, yaitu:
1.   Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah, dan kecemasan.
2.   Alcoholism atau Addiction: ketergantungan terhadap alkohol, obat-obat terlarang atau rokok yang dapat menurunkan produktifitas, merusak kesehatan pisik dan psikis, dan kehidupan sosial seseorang.
3.   Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos kerja dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki perusahaan, atau sakit pisik dan psikis lainnya.
4.   Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh menurunnya konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya sistem keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja.
5.   Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-anak atau pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti memukul dan menghardik secara berlebihan yang ditimbulkan oleh frustrasi, kebosanan dan kelelahan di tempat pekerjaannya.
Beberapa permasalahan sosial lainnya yang terkait dengan industrialisasi adalah: diskriminasi di tempat kerja atau tindakan-tindakan tidak adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja, pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa industri dan perusahaan juga kerap menimbulkan dampak negatif  terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti polusi (udara, air, suara) dan kerusakan-keusakan pisik dan psikis bagi para pekerjanya. Para pekerja sosial industri dapat membantu dunia industri untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai biaya sosial (social costs) yang ditimbulkan oleh perusahaan.

 Tugas Pekerja Sosial Industri :Menurut Johnson (1984:263-264) ada tiga bidang tugas pekerja sosial yang bekerja di perusahaan:
 1.   Kebijakan, perencanaan dan administrasi. Bidang ini umumnya tidak melibatkan pelayanan sosial secara langsung. Sebagai contoh, perumusan kebijakan untuk peningkatan karir, pengadministrasian program-program tindakan afirmatif. pengkoordinasian program-program jaminan sosial dan bantuan sosial bagi para pekerja, atau perencanaan kegiatan-kegiatan sosial dalam departemen-departemen perusahaan. 
2.   Praktik langsung dengan individu, keluarga dan populasi khusus. Tugas pekerja sosial dalam bidang ini meliputi intervensi krisis (crisis intervention), asesmen (penggalian) masalah-masalah personal dan pelayanan rujukan, pemberian konseling bagi pecandu alkohol dan obat-obatan terlarang, pelayanan dan perawatan sosial bagi anak-anak pekerja dalam perusahaan atau organisasi serikat kerja, dan pemberian konseling bagi para pensiunan atau pekerja yang menjelang pensiun.
3.   Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung dan perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan.

Para pekerja sosial telah memberikan kontribusi penting dalam memanusiawikan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat dalam pemberian konseling di dalam maupun di luar perusahaan, pengorganisasian program-program personal, konsultasi dengan manajemen dan serikat-serikat kerja mengenai konsekuensi kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian kesehatan dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja dan  kualitas tenaga kerja (Johnson, 1994; Suharto, 1997).  Dunia industri kini sedang menggali manfaat-manfaat positif dari adanya pelayanan sosial tersebut, baik tehadap aspek finansial  maupun relasi sosial dengan para pekerja dan masyarakat. Di AS, sekitar setengah dari perusahaan-perusahaan terbesar kini memiliki apa yang dinamakan Employee Assistance Programs (EAPs), program-program bantuan kesejahteraan sosial bagi para pekerja dan keluarganya. Dalam upaya menurunkan tingkat kemangkiran kerja saja, peusahaan-perusahaan sanggup mengeluarkan biaya-biaya tambahan untuk program-program sosial dan penanggulangan alkoholisme. Pelayanan sosial seperti ini seringkali disebut sebagai “kontrak kemanusiaan” (human contract) atau “wajah manusiawi industri” (the human face of industry) (Johnson, 1984)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar